Di
desa Soga, rumpun-rumpun bambu serupa hutan bambu. Untuk itu banyak warga
sebenarnya menggantungkan penghasilan tambahan dari bambu. Hal itu terjadi
bukan saja tahun ini melainkan sudah sejak lampau di masa kolonial.
Beberapa
pengusaha bambu masa lalu adalah Haji Laedi (alm). Laedi adalah orang tua
Jamil, kepala dusun Tonronge. Ia menyusun ratusan bambu pesanan pembeli dari
Sengkang menjadi rakit yang kemudian membawa rakit itu ke Bajoe untuk keperluan
nelayan membuat bagang bambu. Nama lain adalah Babu dari Toddangkalung, ayah
Rustam yang kini menjadi pelanjut usaha ayahnya. Kini orang mengenal Abdul
Wahid (Wahe’) sebagai distributor salima,
Naharu (Pa’dai), dan beberapa
lainnya.
Jalur
distribusi perdagangan bambu dari Soga dan sekitarnya hanya dua, yakni lewat
darat yang diangkut oleh truk dan lewat sungai dengan rakit (ma’dai).
Tapi berbeda dengan jalur sungai, jalur darat lebih banyak menyerap tenaga
kerja lokal. Pasalnya, jalur darat seperti yang dijalankan oleh Wahe’ hingga
sekarang ini menjual bilahan bambu (salima) sementara jalur sungai lebih
dominan batangan bambu (awomallorong).
Bila
menelusuri hutan bambu di desa Soga di sepanjang Sungai Walanae dan sungai
Mario, selalu saja ada orang yang sedang membuat salima. Di dalam hutan
bambu kita akan melihat laki-laki menebang bambu (I wettai) dan
menariknya (I getteng) dengan susah payah melepaskannya dari
rumpunnya (dapureng). Setelah itu, bambu yang sudah terpisah akan
dibersihkan ranting-rantingnya (I leggai takkena). Setelah direbahkan,
bambu kemudian dipotong (I rette’) dengan menggunakan gergaji sesuai
ukuran (umumnya 2 meter untuk kandang atau bila dengan pesanan khusus ukurannya
dapat 1 meter atau 1,2 – 1,5 meter. Setelah potongan bambu dengan ukuran
tertentu sudah dilakukan maka bambu akan di belah (I pue) menjadi
delapan bagian salima. Dan setelahnya akan diletakkan begitu saja.
Biasanya,
esok harinya, pekerjaan menyerut salima akan dilakukan oleh perempuan.
Pekerjaan menyerut ini, entah terjadi secara alamiah memang lebih merupakan
pekerjaan perempuan. Mungkin karena pekerjaan ini membutuhkan ketelatenan dan
kerapihan. Satu persatu tulang (bukunna; lappana) bambu dan sisi kiri
kanannya yang tajam diserut hingga hingga halus. Untuk pekerjaan ini, setiap
lembar salima yang diserut, pekerja akan memperoleh upah 25 – 30 rupiah.
Jadi bila dalam sehari seorang penyerut dapat menyelesaikan 300 salima akan
mendapatkan Rp. 7.500 – 9.000.
Setelah
diserut, salima itu akan ditumpuk atau diberdirikan dengan rapih. Di
waktu bersamaan atau di waktu lainnya, si lelaki atau pemiliknya akan datang
dan mengikatnya (I sio) dengan sembilu bambu yang dibuat khusus seratus
lembar perikatnya.
Sementara,
penjualan bambu melalui sungai biasanya didominasi oleh bambu batangan yang
kemudian dirangkai menjadi rakit siap pakai. Nyaris tak ada keterlibatan
perempuan di sana (kecuali persiapan makanan selama perjalanan) dan tentunya
akumulasi keuntungan tidak dinikmati oleh lebih banyak orang.
Bambu merupakan peluang meraih
kesejahteraan orang Soga. Namun, sekedar pemanfaatan ekonomi tanpa diolah dan
tanpa ditopang oleh budidaya dan pembelajaran tentang manfaat bambu tentu hanya
berdampak kecil. Dengan perluasan manfaat maka penerima manfaat juga akan
banyak.
Salah satu contoh yang pernah dilakukan
oleh warga Soga, khususnya di Coppeng-Coppeng adalah pembangunan Rumah Bambu
dengan menggunakan perpaduan teknologi konvensional (manual) dan mesin. Rumah
ini dibangun pada akhir 2011 dengan melibatkan puluhan warga yang setiap hari
datang bekerjasama menyelesaikan bangunan.
Setiap orang yang datang nyaris tak
berpangku tangan. Ini terjadi karena bambu adalah bagian dari budaya mereka.
Bambu adalah tanaman yang sudah menyatu dengan mereka. Bila kita memasuki
halaman dan rumah orang Soga maka kita akan menemukan bambu di dalamnya. Itulah
mengapa, saat pembangunan rumah berukuran 5 X 8 meter ini, memadukan
pengetahuan lokal (pengawetan alami, sistem ikat, dan anyaman) dengan
pengetahuan kampus (arsitektur, sipil, dan pengawetan kimiawi) demikian mudah
diterapkan.
Orang Soga memang mencintai bambu.
Mereka menggunakan untuk kemudahan hidup. Mulai dari peralatan dapur hingga
pertanian. Mulai dari bahan baku permainan anak-anak untuk kesenangan hingga
kepentingan mencari uang bagi orang dewasa. Bambu Soga juga tak sekedar memenuhi
kebutuhan rumah tangga, ia memenuhi kebutuhan orang luar Soppeng, seperti
Sidrap dan Wajo. Orang Sidrap ergantung pada bambu Soga untuk kepentingan
industri ternak unggas (salima) dan
orang Wajo untuk keperluan perdagangan (awo
mallorong).
Di Soga, pemerintah desa berencana
membangun sebuah PUSAT PEMBELAJARAN BAMBU. Meliputi budidaya, pembuatan mebel,
dan konstruksi, dan tentu saja industri pengawetan demi menghindari rayap
menggerogoti batang bambu hingga pangan dan energi alternatif seperti pupuk
organik daun bambu yang kaya pospor dan nutrisi serta briket dari arang bambu.
Setelah berhasil mendirikan rumah bambu
dengan dana swadaya—kerjasama dengan SRP PAYO-PAYO—kini pemerintah desa
bermaksud membangun konstruksi Green
House berbahan bambu. Dengan menggunakan bambu, orang Soga bisa melepas
ketergantungan pada pihak luar. Siapapun bisa menyumbangkan beberapa batang
bambunya untuk kepentingan umum[].
Serba-serbi Pemanfaatan Bambu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar