Minggu, 29 April 2012

BAMBU SOGA: Peluang Ekonomi dan Pendidikan


Di desa Soga, rumpun-rumpun bambu serupa hutan bambu. Untuk itu banyak warga sebenarnya menggantungkan penghasilan tambahan dari bambu. Hal itu terjadi bukan saja tahun ini melainkan sudah sejak lampau di masa kolonial.
Beberapa pengusaha bambu masa lalu adalah Haji Laedi (alm). Laedi adalah orang tua Jamil, kepala dusun Tonronge. Ia menyusun ratusan bambu pesanan pembeli dari Sengkang menjadi rakit yang kemudian membawa rakit itu ke Bajoe untuk keperluan nelayan membuat bagang bambu. Nama lain adalah Babu dari Toddangkalung, ayah Rustam yang kini menjadi pelanjut usaha ayahnya. Kini orang mengenal Abdul Wahid (Wahe’) sebagai distributor salima, Naharu (Pa’dai), dan beberapa lainnya.
Jalur distribusi perdagangan bambu dari Soga dan sekitarnya hanya dua, yakni lewat darat yang diangkut oleh truk dan lewat sungai dengan rakit (ma’dai). Tapi berbeda dengan jalur sungai, jalur darat lebih banyak menyerap tenaga kerja lokal. Pasalnya, jalur darat seperti yang dijalankan oleh Wahe’ hingga sekarang ini menjual bilahan bambu (salima) sementara jalur sungai lebih dominan batangan bambu (awomallorong).
Bila menelusuri hutan bambu di desa Soga di sepanjang Sungai Walanae dan sungai Mario, selalu saja ada orang yang sedang membuat salima. Di dalam hutan bambu kita akan melihat laki-laki menebang bambu (I wettai) dan menariknya (I getteng) dengan susah payah melepaskannya dari rumpunnya (dapureng). Setelah itu, bambu yang sudah terpisah akan dibersihkan ranting-rantingnya (I leggai takkena). Setelah direbahkan, bambu kemudian dipotong (I rette’) dengan menggunakan gergaji sesuai ukuran (umumnya 2 meter untuk kandang atau bila dengan pesanan khusus ukurannya dapat 1 meter atau 1,2 – 1,5 meter. Setelah potongan bambu dengan ukuran tertentu sudah dilakukan maka bambu akan di belah (I pue) menjadi delapan bagian salima. Dan setelahnya akan diletakkan begitu saja.
Biasanya, esok harinya, pekerjaan menyerut salima akan dilakukan oleh perempuan. Pekerjaan menyerut ini, entah terjadi secara alamiah memang lebih merupakan pekerjaan perempuan. Mungkin karena pekerjaan ini membutuhkan ketelatenan dan kerapihan. Satu persatu tulang (bukunna; lappana) bambu dan sisi kiri kanannya yang tajam diserut hingga hingga halus. Untuk pekerjaan ini, setiap lembar salima yang diserut, pekerja akan memperoleh upah 25 – 30 rupiah. Jadi bila dalam sehari seorang penyerut dapat menyelesaikan 300 salima akan mendapatkan Rp. 7.500 – 9.000.
Setelah diserut, salima itu akan ditumpuk atau diberdirikan dengan rapih. Di waktu bersamaan atau di waktu lainnya, si lelaki atau pemiliknya akan datang dan mengikatnya (I sio) dengan sembilu bambu yang dibuat khusus seratus lembar perikatnya.
Sementara, penjualan bambu melalui sungai biasanya didominasi oleh bambu batangan yang kemudian dirangkai menjadi rakit siap pakai. Nyaris tak ada keterlibatan perempuan di sana (kecuali persiapan makanan selama perjalanan) dan tentunya akumulasi keuntungan tidak dinikmati oleh lebih banyak orang.
Bambu merupakan peluang meraih kesejahteraan orang Soga. Namun, sekedar pemanfaatan ekonomi tanpa diolah dan tanpa ditopang oleh budidaya dan pembelajaran tentang manfaat bambu tentu hanya berdampak kecil. Dengan perluasan manfaat maka penerima manfaat juga akan banyak.
Salah satu contoh yang pernah dilakukan oleh warga Soga, khususnya di Coppeng-Coppeng adalah pembangunan Rumah Bambu dengan menggunakan perpaduan teknologi konvensional (manual) dan mesin. Rumah ini dibangun pada akhir 2011 dengan melibatkan puluhan warga yang setiap hari datang bekerjasama menyelesaikan bangunan.
Setiap orang yang datang nyaris tak berpangku tangan. Ini terjadi karena bambu adalah bagian dari budaya mereka. Bambu adalah tanaman yang sudah menyatu dengan mereka. Bila kita memasuki halaman dan rumah orang Soga maka kita akan menemukan bambu di dalamnya. Itulah mengapa, saat pembangunan rumah berukuran 5 X 8 meter ini, memadukan pengetahuan lokal (pengawetan alami, sistem ikat, dan anyaman) dengan pengetahuan kampus (arsitektur, sipil, dan pengawetan kimiawi) demikian mudah diterapkan.
Orang Soga memang mencintai bambu. Mereka menggunakan untuk kemudahan hidup. Mulai dari peralatan dapur hingga pertanian. Mulai dari bahan baku permainan anak-anak untuk kesenangan hingga kepentingan mencari uang bagi orang dewasa. Bambu Soga juga tak sekedar memenuhi kebutuhan rumah tangga, ia memenuhi kebutuhan orang luar Soppeng, seperti Sidrap dan Wajo. Orang Sidrap ergantung pada bambu Soga untuk kepentingan industri ternak unggas (salima) dan orang Wajo untuk keperluan perdagangan (awo mallorong).
Di Soga, pemerintah desa berencana membangun sebuah PUSAT PEMBELAJARAN BAMBU. Meliputi budidaya, pembuatan mebel, dan konstruksi, dan tentu saja industri pengawetan demi menghindari rayap menggerogoti batang bambu hingga pangan dan energi alternatif seperti pupuk organik daun bambu yang kaya pospor dan nutrisi serta briket dari arang bambu.
Setelah berhasil mendirikan rumah bambu dengan dana swadaya—kerjasama dengan SRP PAYO-PAYO—kini pemerintah desa bermaksud membangun konstruksi Green House berbahan bambu. Dengan menggunakan bambu, orang Soga bisa melepas ketergantungan pada pihak luar. Siapapun bisa menyumbangkan beberapa batang bambunya untuk kepentingan umum[].
Serba-serbi Pemanfaatan Bambu 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar